Penyadaran (lagi).
Saya nggak tahu udah sejauh mana saya melangkah. Saya juga nggak tahu seberapa jauh saya harus melangkah. Disadari atau nggak, mungkin saya sering membahagiakan orang lain, pun menyakiti. Sama halnya dengan membahagiakan dan menyakiti diri sendiri. Bedanya hanya pada subjek, siapa yang siapa, siapa pada siapa.
Menulis dan membeberkannya di sini bukan hal yang absolut bijak, bukan juga hal yang absolut fatal. Hanya saja makin ke sini kita makin sendiri 'kan? Selain platform ini, ya hanyalah Sang Maha Mendengar yang setia mendengar keluh kesah kita. Saya nggak tahu seperti apa diri saya di mata Sang Maha Melihat. Sama halnya saya juga nggak tahu seperti apa diri saya ini di mata mereka -sang maha menilai-, yang silih berganti hadir dan hilang di hidup ini.
Pada fase tertentu diri ini baik. Sebaliknya, pada fase tertentu pula diri ini buruk. Sampai saat ini saya menjadi semakin bingung, pandangan saya menjadi kabur, pikiran saya menjadi keruh dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu hitam dan putih tidak akan tertukar, begitu pula dengan si abu. Namun bagaimana dengan sang baik dan sang buruk yang selalu dijadikan tolak ukur benar dan salah? Saya nggak tahu. Dan mungkin nggak akan pernah tahu sampai Sang Maha Tahu memberitahu.
Seiring dengan mendekatkan diri dengan larangan, serta menjauhkan diri dengan kewajiban menjadi hal yang biasa, kata-kata "yaudahlah..." nampaknya menjadi sebuah awal setiap excuse yang pasti akan dimengerti dan diampuni. Salah? Mungkin. Benar? Bisa jadi. Tergantung siapa yang menilai. Membiasakan diri dengan another excuse hanya akan membawa diri ini ke arah yang nggak tahu ke mana. Lucu juga ketika menjadi penyadaran lagi dan lagi: sudah sejauh mana saya melangkah? Saya juga nggak tahu seberapa jauh saya harus melangkah.
Tetaplah melangkah pada jalur yang sama, sehingga awal dan akhir berada dalam satu garis dari petunjuk-Nya. Melangkahlah ke mana kamu harus melangkah, ke tempat yang lebih baik (kata-Nya).
Comments
Post a Comment